Sejak 18 Oktober 2024, seluruh produk yang masuk, beredar, atau diperdagangkan di Indonesia diwajibkan memiliki sertifikasi halal.
Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2024 yang menggantikan PP No. 39 Tahun 2021.
Berdasarkan Pasal 160 Ayat (1) PP No. 42 Tahun 2024, usaha menengah dan besar wajib mengantongi sertifikasi halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan dalam periode 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024.
Sementara itu, Pasal 160 Ayat (2) menyebutkan bahwa pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) diberi kelonggaran waktu hingga 17 Oktober 2026 untuk memenuhi ketentuan serupa, seperti diungkapkan Kepala BPJPH, M. Aqil Irham, di Jakarta pada Senin (21/10/2024).
Untuk produk impor, Pasal 160 Ayat (3) menegaskan bahwa kewajiban sertifikasi halal akan ditetapkan Menteri selambat-lambatnya 17 Oktober 2026.
Penetapan ini menunggu penyelesaian kerja sama pengakuan bersama sertifikat halal antarnegara dan dilakukan setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Aqil menambahkan, BPJPH terus gencar melakukan sosialisasi, edukasi, dan fasilitasi sertifikasi halal kepada pelaku usaha. Upaya ini diperkuat dengan memperluas kolaborasi bersama pemangku kepentingan JPH.
“Kami mendorong pelaku usaha menjadikan sertifikasi halal sebagai nilai unggul untuk meningkatkan kualitas, daya saing, dan perluasan pasar. Ini sejalan dengan tren global di mana konsumen semakin sadar akan pentingnya produk halal,” tegasnya.
Melalui langkah ini, BPJPH berkomitmen mendukung transformasi industri agar selaras dengan prinsip kehalalan sekaligus merespons permintaan pasar yang terus berkembang.
Saran untuk Pelaku Industri Menghadapi Kewajiban Sertifikasi Halal
Pelaku industri sebaiknya segera mengambil langkah proaktif untuk memastikan kesiapan dalam memenuhi kewajiban sertifikasi halal.
Pertama, penting untuk memahami secara mendalam regulasi yang berlaku, termasuk ketentuan dalam UU No. 33 Tahun 2014 dan PP No. 42 Tahun 2024, serta memastikan seluruh proses produksi—dari bahan baku hingga distribusi—telah memenuhi standar kehalalan.
Kedua, pelaku usaha perlu menyiapkan dokumen pendukung seperti audit bahan baku, proses produksi, dan sistem distribusi untuk memudahkan proses sertifikasi.
Bagi UMKM, kolaborasi dengan lembaga pendamping seperti BPJPH atau asosiasi industri dapat mempercepat adaptasi terhadap regulasi ini.
Salah satu langkah strategis adalah mengikuti pelatihan halal di Jogja Tourism Training Center (JTTC). Pelatihan ini memberikan pemahaman tentang prosedur sertifikasi.
Selain itu, peserta juga belajar mengelola rantai pasok halal. Mereka akan tahu cara mengidentifikasi bahan non-halal. Peserta juga diajari cara menyusun dokumen sesuai standar BPJPH.
JTTC dikenal dengan kurikulum praktis yang dirancang untuk meningkatkan kompetensi pelaku usaha, termasuk simulasi proses audit dan konsultasi langsung dengan ahli sertifikasi.
Dengan mengikuti pelatihan ini, industri dapat meminimalisir kesalahan administratif, mempercepat proses pengajuan sertifikat, dan membangun kepercayaan konsumen melalui jaminan produk halal yang kredibel.
Selain itu, sertifikasi dari lembaga terpercaya seperti JTTC dapat menjadi nilai tambah dalam strategi pemasaran, terutama untuk menjangkau pasar global yang semakin mengutamakan produk halal.
Dengan demikian, investasi waktu dan sumber daya dalam pelatihan ini tidak hanya memenuhi aturan. Ini juga membuka peluang untuk ekspansi bisnis. Hal ini penting di tengah tren industri halal yang terus berkembang.